selamat datang

Boy jadikanlah langkah dalam hidupMu adalah untuk menuju MATI

Jumat, 29 April 2011

Ya Allah, hisablah aku Dengan Hisab yang Mudah

hisab_mudah_doaSebuah doa yang patut kita hafal dan amalkan demi meraih kemudaan saat dihisab di akhirat kelak.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ فِى بَعْضِ صَلاَتِهِ « اللَّهُمَّ حَاسِبْنِى حِسَاباً يَسِيرًا ». فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا نَبِىَّ اللَّهِ مَا الْحِسَابُ الْيَسِيرُ قَالَ « أَنْ يَنْظُرَ فِى كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ إِنَّهُ مَنْ نُوقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَئِذٍ يَا عَائِشَةُ هَلَكَ وَكُلُّ مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ يُكَفِّرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةُ تَشُوكُهُ »
Dari Aisyah, ia berkata, saya telah mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada sebagian shalatnya membaca, "Allahumma haasibnii hisaabay yasiiroo (Ya Allah hisablah aku dengan hisab yang mudah).” Ketika beliau berpaling saya bekata, "Wahai Nabi Allah, apa yang dimaksud dengan hisab yang mudah?" Beliau bersabda, "Seseorang yang Allah melihat kitabnya lalu memaafkannya. Karena orang yang diperdebatkan hisabnya pada hari itu, pasti celaka wahai Aisyah. Dan setiap musibah yang menimpa orang beriman Allah akan menghapus (dosanya) karenanya, bahkan sampai duri yang menusuknya." [1]
Yang dimaksud dengan do’a tersebut diterangkan dalam hadits di atas. Maksud “hisab yang mudah” adalah saat di mana dosa-dosa seorang mukmin di hadapkan pada Allah, lalu ia pun mengakui dosa-dosanya itu. Kemudian setelah itu Allah mengampuni dosa-dosanya setelah ia bersendirian dengan Allah dan tidak ada seorang pun yang melihatnya ketika itu.
Dari Shafwan bin Muhriz bahwa seorang laki-laki pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Bagaimana Anda mendengar sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tentang An Najwa (bisikan di hari kiamat)?" Ibnu Umar menjawab,
يَدْنُو أَحَدُكُمْ مِنْ رَبِّهِ حَتَّى يَضَعَ كَنَفَهُ عَلَيْهِ فَيَقُولُ عَمِلْتَ كَذَا وَكَذَا . فَيَقُولُ نَعَمْ . وَيَقُولُ عَمِلْتَ كَذَا وَكَذَا . فَيَقُولُ نَعَمْ . فَيُقَرِّرُهُ ثُمَّ يَقُولُ إِنِّى سَتَرْتُ عَلَيْكَ فِى الدُّنْيَا ، فَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ
"Yaitu salah seorang dari kalian akan mendekat kepada Rabb-nya. Kemudian Dia meletakkan naungan-Nya di atasnya. Kemudian Dia berfirman, "Apakah kamu telah berbuat ini dan ini?" Hamba itu menjawab, "Ya, benar." Dia berfirman lagi, "Apakah kamu telah melakukan ini dan ini?" Hamba itu menjawab, "Ya, benar." Dia pun mengulang-ulang pertanyannya, kemudian berfirman, "Sesungguhnya Aku telah menutupi dosa-dosa tadi (merahasiakannya) di dunia dan pada hari ini aku telah mengampuninya bagimu."[2]
Inilah yang dimaksudkan dengan hisab yang mudah di mana dosa-dosa seorang hamba yang beriman itu dimaafkan.
Moga Allah mudahkan bagi kita untuk mendapatkan kemudahan hisab semacam ini di akhirat kelak saat hari perhitungan. Aamiin Yaa Mujibad Du’aa’.
»»  read more

Hukum Mengusap Wajah Setelah Berdoa

 
mengusap_wajah_doaSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Kami sengaja mengangkat tema ini, karena ada faedah yang berharga yang kami dapatkan dari ulama besar Saudi Arabia (Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah) yang sikap beliau jauh berbeda dalam menyikapi hal ini. Artinya beliau menyikapinya jauh berbeda dengan sebagian orang yang mengatakan bid’ah dan sesat. Mengenai mengusap wajah setelah berdo’a kami sendiri sudah yakin bahwa itu tidak disyari’atkan karena kebanyakan ulama menilai bahwa haditsnya lemah. Sehingga jika lemah, tentu saja tidak perlu diamalkan. Namun bagaimana mengingkari orang lain yang masih mengamalkan hal ini? Kita dapat lihat ulama besar yang sudah ma’ruf bagaimana keilmuannya mengatakan bahwa tidak perlu bersikap keras dalam mengingkarinya. Mari kita lihat bahasan berikut. Moga bermanfaat.
Hadits Mengusap Wajah Setelah Do’a
Mengenai hadits tersebut di antaranya disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam kitab Bulughul Marom
وَعَنْ عُمَرَ - رضي الله عنه - قَالَ: - كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا مَدَّ يَدَيْهِ فِي اَلدُّعَاءِ, لَمْ يَرُدَّهُمَا, حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ - أَخْرَجَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ
Dari ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membentangkan tangannya ketika berdo’a, beliau tidak menurunkannya sampai beliau mengusap kedua tangan tersebut ke wajahnya.
Hadits ini dikeluarkan oleh At Tirmidzi. Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits ini memiliki penguat, yaitu dari hadits Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkna oleh Abu Daud. Yang keseluruhan jalannya menunjukkan bahwa hadits tersebut hasan.
Sedangkan ulama lain mendhoifkan hadits di atas. Adz Dzahabi mengatakan bahwa dalam hadits tersebut terdapat Hammad dan dia termasuk perowi yang dho’if (lemah)[1]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if jiddan (lemah sekali).[2]
Penilaian Para Ulama Mengenai Mengusap Wajah Setelah Do’a
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata,
لا يعرف هذا ، أنه كان يَمسح وجهه بعد الدعاء إلا عن الحسن .
Aku tidak mengtahui hadits yang shahih tentang amalan ini. Hanya Al Hasan yang mengusap wajah setelah do’a.[3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
وَأَمَّا رَفْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ : فَقَدْ جَاءَ فِيهِ أَحَادِيثُ كَثِيرَةٌ صَحِيحَةٌ وَأَمَّا مَسْحُهُ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ فَلَيْسَ عَنْهُ فِيهِ إلَّا حَدِيثٌ أَوْ حَدِيثَانِ لَا يَقُومُ بِهِمَا حُجَّةٌ
Adapun mengangkat tangan saat berdo’a dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam banyak hadits yang menerangkan hal ini. Adapun mengusap wajah setelah do’a, tidak ada yang menerangkan hal ini kecuali satu atau dua hadits yang tidak bisa dijadikan hujjah (alasan).[4]
Al ‘Izz bin ‘Abdis Salam rahimahullah berkata,
ج. قال العز بن عبد السلام : ولا يمسح وجهه بيديه عقيب الدعاء إلا جاهل .
Tidak ada yang mengusap wajah dengan kedua tangan setelah do’a kecuali orang yang jahil (bodoh).[5]
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah ditanya,
ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الدعاء وخاصة بعد دعاء القنوت وبعد النوافل ؟
Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah berdo’a, khususnya setelah do’a qunut atau do’a setelah shalat sunnah?
Beliau rahimahullah menjawab,
حكمه أنه مستحب ؛ لما ذكره الحافظ في البلوغ في باب الذكر والدعاء ، وهو آخر باب في البلوغ أنه ورد في ذلك عدة أحاديث مجموعها يقضي بأنه حديث حسن ، وفق الله الجميع والسلام عليكم.
Hukumnya adalah disunnahkan sebagaimana hadits yang disebutkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajr dalam kitab Bulughul Marom Bab Dzikr wa Du’a. Bab tersebut adalah akhir bab dalam Bulughul Marom. Hal ini dijelaskan dalam beberapa hadits yang semuanya jika dikumpulkan mencapai derajat hasan. Semoga Allah memberi taufik pada kalian seluruhnya, was salaamu ‘alaikum.[6]
Dalam soal yang lain Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ditanya,
سمعت أن المسح على الوجه بعد الدعاء بدعة، وأن تقبيل القرآن الكريم بدعة، أفيدونا عن ذلك؟ جزاكم الله خيراً.
Aku pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa mengusap wajah setelah berdo’a termasuk bid’ah. Berilah kami kejelasan dalam hal ini. Jazakallah khoiron.
مسح الوجه بعد الدعاء ليس بدعة، لكن تركه أفضل للأحاديث الضعيفة وقد ذهب جماعة إلى تحسينها؛ لأنها من باب الحسن لغيره، كما ذلك الحافظ بن حجر -رحمه الله- في آخر بلوغ المرام، وذكر ذلك آخرون، فمن رآها من باب الحسن استحب المسح، ومن رآها من قبيل الضعيف لم يستحب المسح، والأحاديث الصحيحة ليس فيها مسح الوجه بعد الدعاء، الأحاديث المعروفة في الصحيحين، أو في أحدهما في أحد الصحيحين ليس فيها مسح، إنما فيها الدعاء، فمن مسح فلا حرج، ومن ترك فهو أفضل؛ لأن الأحاديث التي في المسح بعد الدعاء مثلما تقدم ضعيفة، ولكن من مسح فلا حرج، ولا ينكر عليه، ولا يقال بدعة،
Perlu diketahui bahwa mengusap wajah setelah shalat bukanlah bid’ah. Akan tetapi meninggalkannya itu afdhol (lebih utama) karena dho’ifnya hadits-hadits yang menerangkan hal ini. Namun sebagian ulama telah menghasankan hadits tersebut karena dilihat dari jalur lainnya yang menguatkan. Di antara ulama yang menghasankannya adalah Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam akhir kitabnya Bulughul Marom. Demikian pula dikatakan ulama yang lainnya. Barangsiapa yang berpendapat  bahwasanya haditsnya hasan, maka disunnahkan baginya untuk mengusap wajah. Sedangkan yang mendho’ifkannya, maka tidak disunnahkan baginya untuk mengusap wajah. Namun tidak ada hadits shahih yang menganjurkan mengusap wajah sesudah do’a. Begitu pula hadits yang telah ma’ruf dalam Bukhari Muslim atau salah satu dari keduanya tidak membicarakan masalah mengusap wajah setelah do’a, yang dibicarakan hanyalah masalah do’a. Siapa saja yang mengusap wajah setelah do’a, tidaklah mengapa. Namun meninggalkannya, itu lebih afdhol. Karena sebagaimana dikatakan tadi bahwa hadits-hadits yang membicarakan hal itu dho’if. Namun yang mengusapnya sekali lagi, tidaklah mengapa. Hal ini pun tidak perlu diingkari dan juga tidak perlu dikatakan bid’ah.[7]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya,
ما حكم مسح الوجه باليدين بعد الدعاء؟
Apa hukum mengusap wajah dengan kedua tangan setelah shalat?
Beliau rahimahullah menjawab,
يرى بعض أهل العلم أنه من السنة، ويرى شيخ الإسلام أنه من البدعة، وهذا بناءً على صحة الحديث الوارد في هذا، والحديث الوارد في هذا قال شيخ الإسلام: إنه موضوع. يعني: مكذوب على الرسول صلى الله عليه وسلم. والذي أرى في المسألة: أن من مسح لا ينكر عليه، ومن لم يمسح لا ينكر عليه،
Sebagian ulama memang mengatakan bahwa hal ini termasuk sunnah (dianjurkan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri menganggap perbuatan ini termasuk bid’ah (hal yang mengada-ada dalam agama). Bisa terjadi perbedaan semacam ini karena adanya perbedaan dalam menshahihkan hadits dalam masalah tersebut. Syaikhul Islam sendiri mengatakan bahwa hadits yang membicarakan hal ini mawdhu’ (palsu), yaitu diriwayatkan oleh perowi yang berdusta atas nama Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan aku sendiri berpandangan bahwa orang yang mengusap wajah (seusai do’a) tidak perlu diingkari. Begitu pula orang yang tidak mengusap wajah, juga tidak perlu diingkari.[8]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam perkataannya yang lain mengatakan,
مسح الوجه باليدين بعد الدعاء الأقرب أنه غير مشروع؛ لأن الأحاديث الواردة في ذلك ضعيفة، حتى قال شيخ الإسلام - رحمه الله تعالى -: إنها لا تقوم بها الحجة.
... وإذا لم نتأكد أو يغلب على ظننا أن هذا الشيء مشروع فإن الأولى تركه؛ لأن الشرع لا يثبت بمجرد الظن إلا إذا كان الظن غالباً.
... فالذي أرى في مسح الوجه باليدين بعد الدعاء أنه ليس بسنة، والنبي صلى الله عليه وسلم كما هو معروف دعا في خطبة الجمعة بالاستسقاء ورفع يديه(1) ولم يرد أنه مسح بهما وجهه، وكذلك في عدة أحاديث جاءت عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه دعا ورفع يديه ولم يثبت أنه مسح وجهه.
Mengusap wajah dengan kedua tangan setelah do’a yang lebih tepat, amalan tersebut bukanlah suatu yang dianjurkan. Karena hadits yang menerangkan hal ini dho’if. Sampai-sampai Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa hadits tersebut tidaklah bisa dijadikan hujjah (karena dho’ifnya, pen). Jika memang menurut perasaan kita hal itu benar-benar tidak dianjurkan, maka yang utama adalah meninggalkan amalan tersebut. Karena amalan tidaklah dibangun dengan hanya sekedar perasaan kecuali jika perasaan tersebut benar-benar kuat. Aku pun berpendapat bahwa mengusap wajah sesudah do’a dengan kedua tangan bukanlah termasuk yang disunnahkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang telah ma’ruf dalam khutbah Jum’at dan shalat Istisqo’, beliau berdo’a dengan mengangkat tangan. Namun ketika itu tidak didapati kalau beliau mengusap wajah setelah do’a. Begitu pula dalam beberapa hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan bahwa beliau berdo’a dengan mengangkat kedua tangan namun tidak shahih jika dikatakan bahwa beliau mengusap wajah.[9]
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah ditanya, “Apa hukum mengusap wajah setelah berdo’a?”
Jawaban beliau hafizhohullah, “Hadits yang membicarakan amalan tersebut tidak shahih. Namun siapa yang mengamalkan hal ini tidak perlu diingkari. Akan tetapi, yang tidak mengusap wajah setelah berdo’a, itulah yang ahsan (lebih baik).”[10]
Penutup
Nasehat terakhir dari Syaikh Sholeh bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan hafizhohullah, kami rasa sudah cukup sebagai kesimpulan. Artinya hadits yang membicarakan amalan ini dho’if, sehingga tidak perlu diamalkan. Namun tidak perlu ada ingkaru mungkar dalam hal ini karena haditsnya pun masih diperselisihkan dho’if atau hasannya. Yang tidak mengamalkan mengusap wajah sesudah berdo’a, itulah yang lebih baik. Wallahu waliyyut taufiq.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
»»  read more

51 Keutamaan Dzikir

keutamaan_dzikirSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Berikut adalah keutamaan-keutamaan dzikir yang disarikan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah dalam kitabnya Al Wabilush Shoyyib. Moga bisa menjadi penyemangat bagi kita untuk menjaga lisan ini untuk terus berdzikir, mengingat Allah daripada melakukan hal yang tiada guna.

(1) mengusir setan. (2) mendatangkan ridho Ar Rahman.
(3) menghilangkan gelisah dan hati yang gundah gulana.
(4) hati menjadi gembira dan lapang.
(5) menguatkan hati dan badan.
(6) menerangi hati dan wajah menjadi bersinar.
(7) mendatangkan rizki.
(8) orang yang berdzikir akan merasakan manisnya iman dan keceriaan.
(9) mendatangkan cinta Ar Rahman yang merupakan ruh Islam.
(10) mendekatkan diri pada Allah sehingga memasukkannya pada golongan orang yang berbuat ihsan yaitu beribadah kepada Allah seakan-akan melihatnya.
(11) mendatangkan inabah, yaitu kembali pada Allah ‘azza wa jalla. Semakin seseorang kembali pada Allah dengan banyak berdzikir pada-Nya, maka hatinya pun akan kembali pada Allah dalam setiap keadaan.
(12) seseorang akan semakin dekat  pada Allah sesuai dengan kadar dzikirnya pada Alalh ‘azza wa jalla. Semakin ia lalai dari dzikir, ia pun akan semakin jauh dari-Nya.
(13) semakin bertambah ma’rifah (mengenal Allah). Semakin banyak dzikir, semakin bertambah ma’rifah seseorang pada Allah.
(14) mendatangkan rasa takut pada Rabb ‘azza wa jalla dan semakin menundukkan diri pada-Nya. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir, akan semakin terhalangi dari rasa takut pada Allah.
(15) meraih apa yang Allah sebut dalam ayat,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ
Ingatlah pada-Ku, maka Aku akan melihat kalian.” (QS. Al Baqarah: 152). Seandainya tidak ada keutamaan dzikir selain yang disebutkan dalam ayat ini, maka sudahlah cukup keutamaan yang disebut.
(16) hati akan semakin hidup. Ibnul Qayyim pernah mendengar gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,
الذكر للقلب مثل الماء للسمك فكيف يكون حال السمك إذا فارق الماء ؟
Dzikir pada hati semisal air yang dibutuhkan ikan. Lihatlah apa yang terjadi jika ikan tersebut lepas dari air?”
(17) hati dan ruh semakin kuat. Jika seseorang melupakan dzikir maka kondisinya sebagaimana badan yang hilang kekuatan. Ibnul Qayyim rahimahullah menceritakan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sesekali pernah shalat Shubuh dan beliau duduk berdzikir pada Allah Ta’ala sampai beranjak siang. Setelah itu beliau berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan beliau yang semisal ini-.
(18) dzikir menjadikan hati semakin kilap yang sebelumnya berkarat. Karatnya hati adalah disebabkan karena lalai dari dzikir pada Allah. Sedangkan kilapnya hati adalah dzikir, taubat dan istighfar.
(19) menghapus dosa karena dzikir adalah kebaikan terbesar dan kebaikan akan menghapus kejelekan.
(20) menghilangkan kerisauan. Kerisauan ini dapat dihilangkan dengan dzikir pada Allah.
(21) ketika seorang hamba rajin mengingat Allah, maka Allah akan mengingat dirinya di saat ia butuh.
(22) jika seseorang mengenal Allah dalam  keadaan lapang, Allah akan mengenalnya dalam keadaan sempit.
(23) menyelematkan seseorang dari adzab neraka.
(24) dzikir menyebabkan turunnya sakinah (ketenangan), naungan rahmat, dan dikelilingi oleh malaikat.
(25) dzikir menyebabkan lisan semakin sibuk sehingga terhindar dari ghibah (menggunjing), namimah (adu domba), dusta, perbuatan keji dan batil.
(26) majelis dzikir adalah majelis para malaikat dan majelis orang yang lalai dari dzikir adalah majelis setan.
(27) orang yang berzikir begitu bahagia, begitu pula ia akan membahagiakan orang-orang di sekitarnya.
(28) akan memberikan rasa aman bagi seorang hamba dari kerugian di hari kiamat.
(29) karena tangisan orang yang berdzikir, maka Allah akan memberikan naungan ‘Arsy padanya di hari kiamat yang amat panas.
(30) sibuknya seseorang pada dzikir adalah sebab Allah memberi untuknya lebih dari yang diberikan pada peminta-minta.
(31) dzikir adalah ibadah yang paling ringan, namun ibadah tersebut amat mulia.
(32) dzikir adalah tanaman surga.
(33) pemberian dan keutamaan yang diberikan pada orang yang berdzikir, tidak diberikan pada amalan lainnya.
(34) senantiasa berdzikir pada Allah menyebabkan seseorang tidak mungkin melupakan-Nya. Orang yang melupakan Allah adalah sebab sengsara dirinya dalam kehidupannya dan di hari ia dikembalikan. Seseorang yang melupakan Allah menyebabkan ia melupakan dirinya dan maslahat untuk dirinya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr: 19)
(35) dzikir adalah cahaya bagi pemiliknya di dunia, kubur, dan hari berbangkit.
(36) dzikir adalah ro’sul umuur (inti segala perkara). Siapa yang dibukakan baginya kemudahan dzikir, maka ia akan memperoleh berbagai kebaikan. Siapa yang luput dari pintu ini, maka luputlah ia dari berbagai kebaikan.
(37) dzikir akan memperingatkan hati yang tertidur lelap. Hati bisa jadi sadar dengan dzikir.
(38) orang yang berdzikir akan semakin dekat dengan Allah dan bersama dengan-Nya. Kebersamaan di sini adalah dengan kebersamaan yang khusus, bukan hanya sekedar Allah itu bersama dalam arti mengetahui atau meliputi. Namun kebersamaan ini menjadikan lebih dekat, mendapatkan perwalian, cinta, pertolongan dan taufik Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An Nahl: 128)
وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Baqarah: 249)
وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
Dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69)
لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا
Janganlah kamu berduka cita, Sesungguhnya Allah beserta kita.” (QS. At Taubah: 40)
(39) dzikir itu dapat menyamai seseorang yang memerdekakan budak, menafkahkan harta, dan menunggang kuda di jalan Allah, serta juga dapat menyamai seseorang yang berperang dengan pedang di jalan Allah.
Sebagaimana terdapat dalam hadits,
مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . فِى يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ
Barangsiapa yang mengucapkan ‘Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku, wa lahul hamdu, wa huwa ‘ala kulli syain qodiir dalam sehari sebanyak 100 kali, maka itu seperti memerdekakan 10 budak.[1]
(40) dzikir adalah inti dari bersyukur. Tidaklah bersyukur pada Allah Ta’ala orang yang enggan berdzikir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada Mu’adz,
« يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّى لأُحِبُّكَ ». فَقَالَ « أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لاَ تَدَعَنَّ فِى دُبُرِ كُلِّ صَلاَةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّى عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ »
Wahai Mu’adz, demi Allah, sungguh aku mencintaimu. Demi Allah, aku mencintaimu.” Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menasehatkan kepadamu –wahai Mu’adz-, janganlah engkau tinggalkan di setiap akhir shalat bacaan ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah tolonglah aku untuk berdzikir dan bersyukur serta beribadah yang baik pada-Mu).[2] Dalam hadits ini digabungkan antara dzikir dan syukur. Begitu pula Allah Ta’ala menggabungkan antara keduanya dalam firman Allah Ta’ala,
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al Baqarah: 152). Hal ini menunjukkan bahwa penggabungan dzikir dan syukur merupakan jalan untuk meraih bahagia dan keberuntungan.
(41) makhluk yang paling mulia adalah yang bertakwa yang lisannya selalu basah dengan dzikir pada Allah. Orang seperti inilah yang menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. Ia pun menjadikan dzikir sebagai syi’arnya.
(42) hati itu ada yang keras dan meleburnya dengan berdzikir pada Allah. Oleh karena itu, siapa yang ingin hatinya yang keras itu sembuh, maka berdzikirlah pada Allah.
Ada yang berkata kepada Al Hasan, “Wahai Abu Sa’id, aku mengadukan padamu akan kerasnya hatiku.” Al Hasan berkata, “Lembutkanlah dengan dzikir pada Allah.”
Karena hati  ketika semakin lalai, maka semakin keras hati tersebut. Jika seseorang berdzikir pada Allah, lelehlah kekerasan hati tersebut sebagaimana timah itu meleleh dengan api. Maka kerasnya hati akan meleleh semisal itu, yaitu dengan dzikir pada Allah ‘azza wa jalla.
(43) dzikir adalah obat hati sedangkan lalai dari dzikir adalah penyakit hati. Obat hati yang sakit adalah dengan berdzikir pada Allah.
Mak-huul, seorang tabi’in, berkata, “Dzikir kepada Allah adalah obat (bagi hati). Sedangkan sibuk membicarakan (‘aib) manusia, itu adalah penyakit.”
(44) tidak ada sesuatu yang membuat seseorang mudah meraih nikmat Allah dan selamat dari murka-Nya selain dzikir pada Allah. Jadi dzikir adalah sebab datangnya dan tertolaknya murka Allah. Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7). Dzikir adalah inti syukur sebagaimana telah disinggung sebelumnya. Sedangkan syukur akan mendatangkan nikmat dan semakin bersyukur akan membuat nikmat semakin bertambah.
(45) dzikir menyebabkan datangnya shalawat Allah dan malaikatnya bagi orang yang berdzikir. Dan siapa saja yang mendapat shalawat (pujian) Allah dan malaikat, sungguh ia telah mendapatkan keuntungan yang besar. Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا (41) وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا (42) هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا (43)
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al Ahzab: 41-43)
(46) dzikir kepada Allah adalah pertolongan besar agar seseorang mudah melakukan ketaatan. Karena Allah-lah yang menjadikan hamba mencintai amalan taat tersebut, Dia-lah yang memudahkannya dan menjadikan terasa nikmat melakukannya. Begitu pula Allah yang menjadikan amalan tersebut sebagai penyejuk mata, terasa nikmat dan ada rasa gembira. Orang yang rajin berdzikir tidak akan mendapati kesulitan dan rasa berat ketika melakukan amalan taat tersebut, berbeda halnya dengan orang yang lalai dari dzikir. Demikianlah banyak bukti yang menjadi saksi akan hal ini.
(47) dzikir pada Allah akan menjadikan kesulitan itu menjadi mudah, suatu yang terasa jadi beban berat akan menjadi ringan, kesulitan pun akan mendapatkan jalan keluar. Dzikir pada Allah benar-benar mendatangkan kelapangan setelah sebelumnya tertimpa kesulitan.
(48) dzikir pada Allah akan menghilangkan rasa takut yang ada pada jiwa dan ketenangan akan selalu diraih. Sedangkan orang yang lalai dari dzikir akan selalu merasa takut dan tidak pernah merasakan rasa aman.
(49) dzikir akan memberikan seseorang kekuatan sampai-sampai ia bisa melakukan hal yang menakjubkan. Itulah karena disertai dengan dzikir. Contohnya adalah Ibnu Taimiyah yang sangat menakjubkan dalam perkataan, tulisannya, dan kekuatannya. Tulisan Ibnu Taimiyah yang ia susun sehari sama halnya dengan seseorang yang menulis dengan menyalin tulisan selama seminggu atau lebih. Begitu pula di medan peperangan, beliau terkenal sangat kuat. Inilah suatu hal yang menakjubkan dari orang yang rajin berdzikir.
(50) orang yang senantiasa berdzikir ketika berada di jalan, di rumah, di lahan yang hijau, ketika safar, atau di berbagai tempat, itu akan membuatnya mendapatkan banyak saksi di hari kiamat. Karena tempat-tempat tadi, gunung dan tanah, akan menjadi saksi bagi seseorang di hari kiamat. Kita dapat melihat hal ini pada firman Allah Ta’ala,
إِذَا زُلْزِلَتِ الْأَرْضُ زِلْزَالَهَا (1) وَأَخْرَجَتِ الْأَرْضُ أَثْقَالَهَا (2) وَقَالَ الْإِنْسَانُ مَا لَهَا (3) يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا (4) بِأَنَّ رَبَّكَ أَوْحَى لَهَا (5)
Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (menjadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) kepadanya.” (QS. Az Zalzalah: 1-5)
(51) jika seseorang menyibukkan diri dengan dzikir, maka ia akan terlalaikan dari perkataan yang batil seperti ghibah (menggunjing), namimah (mengadu domba), perkataan sia-sia, memuji-muji manusia, dan mencela manusia. Karena lisan sama sekali tidak bisa diam. Lisan boleh jadi adalah lisan yang rajin berdzikir dan boleh jadi adalah lisan yang lalai. Kondisi lisan adalah salah satu di antara dua kondisi tadi. Ingatlah bahwa jiwa jika tidak tersibukkan dengan kebenaran, maka pasti akan tersibukkan dengan hal yang sia-sia.[3]
Alhamdulillahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat.
»»  read more

Sifat Penuntut Ilmu, Rajin Shalat Malam

 
amalan_menuntut_ilmuDi pagi ini, kami mendapatkan pelajaran menarik dari Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdilllah bin Baz rahimahullah. Beliau memberikan faedah menarik bahwa orang yang berilmu bukanlah hanya memperbanyak ilmu saja, tahu berbagai macam hukum atau berbagai macam fadhilah amal. Namun mereka juga adalah orang yang memperhatikan amalan dari ilmu yang telah mereka ketahui dan pahami. Jika mereka tahu bahwa shalat malam (shalat tahajud) itu adalah utama, mereka pun selalu menjaganya. Walaupun kita tahu bersama shalat tahajud hanyalah sunnah. Perhatikan fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berikut ini.
Si penanya menuturkan, “Sungguh banyak dari para penuntut ilmu saat ini yang mengetahui banyak hal tentang fadhilah amal, tahu pula ganjarannya. Di antara yang mereka tahu adalah keutamaan shalat malam. Namun sayangnya mereka tidak melakukannya. Mereka hanya sekedar berilmu, namun jauh dari amal.”
Syaikh rahimahullah lantas menjelaskan,
“Amalan yang  dijelaskan fadhilah (keutamaan) di dalamnya ada dua macam. Pertama adalah amalan wajib. Seorang muslim –baik dia itu orang yang berilmu atau bukan- wajib memperhatikan hal ini, dengan ia bertakwa kepada Allah untuk menjalankan yang wajib. Ia wajib menjaga shalat lima waktu, menunaikan zakat, dan menunaikan kewajiban lainnya. Kedua adalah amalan sunnah (mustahab). Contohnya adalah menunaikan shalat malam, shalat Dhuha, dan shalat sunnah lainnya. Seorang mukmin dituntut untuk bersemangat dalam melakukan amalan sunnah tersebut. Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang berilmu. Orang yang berilmu adalah orang yang jadi teladan (qudwah). Seandainya ia sibuk atau meninggalkan amalan tadi di sebagian waktu, maka itu tidak mengapa karena amalan tadi hanyalah amalan sunnah. Namun sifat orang yang berilmu (yang ‘alim) dan yang istimewa adalah selalu memperhatikan dan menjaga amalan sunnah seperti shalat malam, shalat Dhuha, shalat rawatib dan berbagai bentuk kebaikan lainnya.” [Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, juz ke-8][1]
Kalau kita perhatikan penuntut ilmu saat ini, ada sebagian di antara mereka yang malah bangun shubuh saja susah, ada yang seringkali ikut jama’ah kedua. Selain ibadah, akhlaknya pun terhadap ortu, terhadap tetangga, terhadap sesama, amat jelek. Ilmu sekedar tambah wawasan. Datang pengajian hanya sekedar tambah pesona. Wallahul musta’an.
Ingatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
القُرْآنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
Al Qur’an akan menjadi hujjah (yang akan membela) engkau atau akan menjadi bumerang yang akan menyerangmu.” (HR Muslim no 223). Dari sini menunjukkan bahwa apa yang kita ilmui bisa jadi bumerang bagi kita sendiri karena tidak kita amalkan.
Lalu di akhirat kelak, kita akan ditanya di manakah ilmu tersebut kita amalkan. Dalam hadits Ibnu Mas’ud Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عِنْدِ رَبِّهِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ خَمْسٍ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ وَمَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ وَمَاذَا عَمِلَ فِيمَا عَلِمَ
Kedua kaki anak Ibnu Adam tidaklah bergeser pada hari kiamat di sisi Rabbnya hingga ia ditanya lima perkara: [1] umurnya, di mana ia habiskan, [2] waktu mudahnya, di mana ia manfaatkan, [3, 4] hartanya, bagaimana ia memperolehnya dan di mana ia infakkan, [5] amalan dari ilmu yang ia ketahui.” (HR. Tirmidzi no. 2416, hasan kata Syaikh Al Albani)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
كُلُّ عِلْمٍ وَعَمَلٍ لاَ يَزِيْدُ الإِيمَانَ واليَقِيْنَ قُوَّةً فَمَدْخُوْلٌ، وَكُلُّ إِيمَانٍ لاَ يَبْعَثُ عَلَى الْعَمَلِ فَمَدْخُوْلٌ
Setiap ilmu dan amal yang tidak menambah kekuatan dalam keimanan dan keyakinan maka telah termasuki (terkontaminasi), dan setiap iman yang tidak mendorong untuk beramal maka telah termasuki (tercoreng).”( Al Fawa’id, hal. 86)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam Fatawanya,
وَإِذَا أَصَرَّ عَلَى تَرْكِ مَا أُمِرَ بِهِ مِنْ السُّنَّةِ وَفِعْلِ مَا نُهِيَ عَنْهُ فَقَدْ يُعَاقَبُ بِسَلْبِ فِعْلِ الْوَاجِبَاتِ حَتَّى قَدْ يَصِيرُ فَاسِقًا أَوْ دَاعِيًا إلَى بِدْعَةٍ
Seseorang jika terus meninggalkan sunah yang diperintahkan dan melakukan perkara yang terlarang maka bisa jadi dia dihukum (oleh Allah) dengan meninggalkan hal-hal yang wajib, hingga akhirnya bisa jadi ia menjadi orang fasik atau orang yang menyeru kepada bid’ah.” (Majmu’ Al-Fatawa, 22/306)
Pernah ada seseorang yang bertanya (masalah agama) kepada Abu Ad-Darda’, maka Abu Ad-Darda’ berkata kepadanya: “Apakah semua masalah agama yang kau tanyakan kau amalkan?” Orang itu menjawab: “Tidak.” Maka Abu Ad-Darda’ menimpalinya: “Apa yang engkau lakukan dengan menambah hujjah yang akan menjadi bumerang bagimu?” (Al-Muwaafaqaat 1/82 sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abdil-Bar dalam Al-Jami’ no 1232).[2]
Semoga Allah melengkapi kita dengan ilmu dan amal, serta menjauhkan kita dari sifat beramal tanpa ilmu dan menjauhkan pula dari sifat banyak berilmu, namun enggan mempraktekkan dalam amalan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
»»  read more

Terputis Amalan Selain Tiga Perkara

 
amal_jariyahIlmu agama yang bermanfaat, anak sholeh yang selalu mendoakan ortunya dan sedekah jariyah adalah di antara amalan yang bermanfaat bagi mayit walaupun ia sudah di alam kubur. Simak sajian singkat berikut. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631)
Faedah dari hadits di atas:
Pertama: Jika manusia itu mati, amalannya terputus. Dari sini menunjukkan bahwa seorang muslim hendaklah memperbanyak amalan sholeh sebelum ia meninggal dunia.
Kedua: Allah menjadikan hamba sebab sehingga setelah meninggal dunia sekali pun ia masih bisa mendapat pahala, inilah karunia Allah.
Ketiga: Amalan yang masih terus mengalir pahalanya walaupun setelah meninggal dunia, di antaranya:
a. Sedekah jariyah, seperti membangun masjid, menggali sumur, mencetak buku yang bermanfaat serta berbagai macam wakaf yang dimanfaatkan dalam ibadah.
b. Ilmu yang bermanfaat, yaitu ilmu syar’i (ilmu agama) yang ia ajarkan pada orang lain dan mereka terus amalkan, atau ia menulis buku agama yang bermanfaat dan terus dimanfaatkan setelah ia meninggal dunia.
c. Anak yang sholeh karena anak sholeh itu hasil dari kerja keras orang tuanya. Oleh karena itu, Islam amat mendorong seseorang untuk memperhatikan pendidikan anak-anak mereka dalam hal agama, sehingga nantinya anak tersebut tumbuh menjadi anak sholeh. Lalu anak tersebut menjadi sebab, yaitu ortunya masih mendapatkan pahala meskipun ortunya sudah meninggal dunia.
Keempat: Di antara kebaikan lainnya yang bermanfaat untuk mayit muslim setelah ia meninggal dunia yang diberikan orang yang masih hidup adalah do’a kebaikan yang tulus kepada si mayit tersebut. Do’a tersebut mencakup do’a rahmat, ampunan, meraih surga, selamat dari siksa neraka dan berbagai do’a kebaikan lainnya.
Kelima: Sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamatau anak sholeh yang mendo’akannya”, tidaklah dipahami bahwa do’a yang manfaat hanya dari anak saja. Bahkan do’a kebaikan orang lain untuk si mayit tersebut tetap bermanfaat insya Allah. Oleh karena itu, kaum muslimin disyari’atkan melakukan shalat jenazah terhadap mayit lalu mendo’akan mayit tersebut walaupun mayit itu bukan ayahnya.
Keenam: Dalam hadits terdapat isyarat adanya keutamaan menikah, juga terdapat dorongan untuk menikah dan memperbanyak keturunan supaya mendapatkan keturunan sholeh (sehingga bermanfaat nantinya ketika kita telah meninggal dunia, pen).
»»  read more

Cipika - Cipiki (cium pipi) jika Bertemu

 
saudi_man_kissingKalau berada di tanah Arab, kita akan melihat tingkah laku muda-mudi sampai kalangan orang tua yang setiap kali bertemu menempelkan pipinya ke saudaranya (alias cipika-cipiki = cium pipi kanan, cium pipi kiri). Ini hal yang wajar yang sehari-hari dapat kita saksikan. Namun ini hanya berlaku untuk sesama jenis. Mereka akan menempelkan pipinya ke pipi saudaranya. Ada yang melakukan dengan menempel pipinya ke pipi saudaranya yang kanan sekali, lalu dilanjutkan di bagian pipi kirinya sebanyak tiga kali. Atau pula tingkah semacam ini kita saksikan di kalangan sebagian orang di negeri kita. Bagaimana ajaran Islam menilai trend semacam ini? Ulama Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa di Saudi Arabia) mengkritik trend semacam itu yang dapat kita saksikan dalam fatwa berikut ini. Pertanyaan:
Ada sebuah trend di kalangan pemuda ketika bertemu setiap saat, mereka akan saling mencium pipi. Trend ini telah berkembang pula di antara para orang tua, di masjid dan di jalan-jalan. Apakah hal ini bertentangan dengan sunnah (ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) ataukah perbuatan semacam ini tidak haram? Ataukah hal semacam ini tergolong bid’ah, atau termasuk dosa, atau mungkin diizinkan (dalam Islam)? Kami sangat ingin para ulama yang memahami hal ini secara detail.
Jawaban:
Apa yang diajarkan (Islam) ketika bertemu adalah memberi salam dan berjabat tangan. Namun jika bertemu setelah melakukan perjalanan jauh (safar) yang dituntunkan adalah saling berpelukan. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bertemu biasanya mereka bersalaman satu dan lainnya. Dan jika kembali dari perjalanan, mereka saling berpelukan.
Adapun mengenai mencium pipi yang ditanyakan, kami tidak mengetahui adanya ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan hal itu.
Wa billahit taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
»»  read more

Dzikir sebelum tidur


dzikir_sebelum_tidurBerikut ada 13 dzikir yang sangat bermanfaat sekali diamalkan sebelum tidur. Moga tidur kita menjadi lebih berkah dan tidur tersebut bernilai ibadah serta aman dari gangguan setan dengan izin Allah. Semoga bermanfaat. [1]
Mengumpulkan dua tapak tangan. Lalu ditiup dan dibacakan surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas. Kemudian dengan dua tapak tangan mengusap tubuh yang dapat dijangkau, dimulai dari kepala, wajah dan tubuh bagian depan. Kemudian hal ini diulang sampai tiga kali.[1]
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ اللَّهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada- Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.” (QS. Al Ikhlas: 1-4)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ مِن شَرِّ مَا خَلَقَ وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ  وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb yang menguasai Subuh, dari kejahatan makhluk-Nya, dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, dan dari kejahatan-kejahatan wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul, dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki”. (QS. Al Falaq: 1-5)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ مَلِكِ النَّاسِ إِلَهِ النَّاسِ مِن شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ الَّذِي يُوَسْوِسُ فِي صُدُورِ النَّاسِ مِنَ الْجِنَّةِ وَ النَّاسِ
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Aku berlindung kepada Rabb manusia. Raja manusia. Sembahan manusia, dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi, yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia, dari jin dan manusia.” (QS. An Naas: 1-6)
[2]
Membaca ayat kursi sekali.[2]
اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ، لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَ نَوْمٌ، لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ، مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ، وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَاءَ، وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ، وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا، وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Dia tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi-Nya tanpa seizin-Nya. Dia mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka. Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dia tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Dia Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. Al Baqarah: 255)
[3]
Membaca Surat Al Baqarah ayat 285-286.
آَمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آَمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ * لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Rabb kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Rabb kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir".[3]
[4]
بِاسْمِكَ رَبِّيْ وَضَعْتُ جَنْبِيْ، وَبِكَ أَرْفَعُهُ، فَإِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِيْ فَارْحَمْهَا، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِيْنَ.
Dengan nama Engkau, wahai Rabbku, aku meletakkan lambungku. Dan dengan namaMu pula aku bangun daripadanya. Apabila Engkau menahan rohku (mati), maka berilah rahmat padanya. Tapi, apabila Engkau melepaskannya, maka peliharalah, sebagaimana Engkau memelihara hamba-hambaMu yang shalih.” (dibaca 1 x)[4]
[5]
اَللَّهُمَّ إِنَّكَ خَلَقْتَ نَفْسِيْ وَأَنْتَ تَوَفَّاهَا، لَكَ مَمَاتُهَا وَمَحْيَاهَا، إِنْ أَحْيَيْتَهَا فَاحْفَظْهَا، وَإِنْ أَمَتَّهَا فَاغْفِرْ لَهَا. اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ.
Ya Allah! Sesungguhnya Engkau menciptakan diriku, dan Engkaulah yang akan mematikannya. Mati dan hidupnya hanya milikMu. Apabila Engkau menghidupkannya, maka peliharalah. Apabila Engkau mematikannya, maka ampunilah. Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepadaMu keselamatan.” (dibaca 1 x)[5]
[6]
اَللَّهُمَّ قِنِيْ عَذَابَكَ يَوْمَ تَبْعَثُ عِبَادَكَ.
Ya Allah! Jauhkanlah aku dari siksaanMu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hambaMu.” (Dibaca 3 x).”[6]
[7]
بِاسْمِكَ اللَّهُمَّ أَمُوْتُ وَأَحْيَا.
Dengan namaMu, ya Allah! Aku mati dan hidup.”[7]
[8]
سُبْحَانَ اللهِ (33×)
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ (33×)
وَاللهُ أَكْبَرُ (33×)
Maha Suci Allah (33 x), Segala puji bagi Allah (33 x), Allah Maha Besar (33 x).”[8]
[9]
اَللَّهُمَّ رَبَّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ، رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَيْءٍ، فَالِقَ الْحَبِّ وَالنَّوَى، وَمُنْزِلَ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ وَالْفُرْقَانِ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ كُلِّ شَيْءٍ أَنْتَ آخِذٌ بِنَاصِيَتِهِ. اَللَّهُمَّ أَنْتَ اْلأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ اْلآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَيْءٌ، اِقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ.
Ya Allah, Tuhan yang menguasai langit yang tujuh, Tuhan yang menguasai arasy yang agung, Tuhan kami dan Tuhan segala sesuatu. Tuhan yang membelah butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah, Tuhan yang menurunkan kitab Taurat, Injil dan Furqan (Al-Qur’an). Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan segala sesuatu yang Engkau memegang ubun-ubunnya. Ya Allah, Engkau-lah yang pertama, sebelumMu tidak ada sesuatu. Engkaulah yang terakhir, setelahMu tidak ada sesuatu. Engkau-lah yang ahir, tidak ada sesuatu di atasMu, Engkau-lah yang Batin, tidak ada sesuatu yang menghalangiMu, lunasilah utang kami dan berilah kami kekayaan hingga terlepas dari kefakiran.”[9]
[10]
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ أَطْعَمَنَا وَسَقَانَا وَكَفَانَا وَآوَانَا، فَكَمْ مِمَّنْ لاَ كَافِيَ لَهُ وَلاَ مُؤْوِيَ.
Segala puji bagi Allah yang memberi makan kami, memberi minum kami, mencukupi kami, dan memberi tempat berteduh. Berapa banyak orang yang tidak mendapatkan siapa yang memberi kecukupan dan tempat berteduh.”[10]
[11]
اَللَّهُمَّ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ، رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ وَمَلِيْكَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ نَفْسِيْ، وَمِنْ شَرِّ الشَّيْطَانِ وَشِرْكِهِ، وَأَنْ أَقْتَرِفَ عَلَى نَفْسِيْ سُوْءًا أَوْ أَجُرُّهُ إِلَى مُسْلِمٍ.
Ya Allah, Tuhan yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Tuhan pencipta langit dan bumi, Tuhan yang menguasai segala sesuatu dan yang merajainya. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Aku berlindung kepadaMu dari kejahatan diriku, kejahatan setan dan balatentaranya, atau aku berbuat kejelekan pada diriku atau aku mendorongnya kepada seorang Muslim.[11]
[12]
Membaca “alif lam mim tanzil” (surat As-Sajdah) dan “tabaarokal ladzii biyadihil mulk” (surat Al Mulk).[12]
[13]
اَللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ نَفْسِيْ إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِيْ إِلَيْكَ، وَوَجَّهْتُ وَجْهِيَ إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِيْ إِلَيْكَ، رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ، لاَ مَلْجَأَ وَلاَ مَنْجَا مِنْكَ إِلاَّ إِلَيْكَ، آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِيْ أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِيْ أَرْسَلْتَ.
Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepadaMu, aku menyerahkan urusanku kepadaMu, aku menghadapkan wajahku kepadaMu, aku menyandarkan punggungku kepadaMu, karena senang (mendapatkan rahmatMu) dan takut pada (siksaanMu, bila melakukan kesalahan). Tidak ada tempat perlindungan dan penyelamatan dari (ancaman)Mu, kecuali kepadaMu. Aku beriman pada kitab yang telah Engkau turunkan, dan (kebenaran) NabiMu yang telah Engkau utus.” Apabila Engkau meninggal dunia (di waktu tidur), maka kamu akan meninggal dunia dengan memegang fitrah (agama Islam)”.[13]


Baca artikel "Adab Sebelum Tidur" di sini.

References:
Hish-nul Muslim min Adzkar Al Kitab was Sunnah, Syaikh Sa’ad bin Wahf Al Qohthoni
Tash-hih Syarh Hish-nul Muslim min Adzkar Al Kitab was Sunnah, Majdi bin ‘Abdul Wahab Al Ahmad, terbitan Maktabah Al Malik Fahd Al Wathoniyah, cetakan keempat, 1430 H, hal. 184-198.

Riyadh-KSA, before journey to Indonesia, 9 Jumadil Ula 1432 H (12/04/2011)
www.rumaysho.com



[1] Dari ‘Aisyah, beliau radhiyallahu ‘anha berkata,  “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” HR. Bukhari 9/62 bersama Fathul Baari (no. 5017) dan Muslim (4/1723, 2192)
[2] Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menugaskan aku menjaga harta zakat Ramadhan kemudian ada orang yang datang mencuri makanan namun aku merebutnya kembali, lalu aku katakan, "Aku pasti akan mengadukan kamu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam". Lalu Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu menceritakan suatu hadits berkenaan masalah ini. Selanjutnya orang yang datang kepadanya tadi berkata, "Jika kamu hendak berbaring di atas tempat tidurmu, bacalah ayat Al Kursi karena dengannya kamu selalu dijaga oleh Allah Ta'ala dan syetan tidak akan dapat mendekatimu sampai pagi". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Benar apa yang dikatakannya padahal dia itu pendusta. Dia itu syetan". HR. Bukhari no. 3275
[3]Barangsiapa membaca dua ayat tersebut pada malam hari, maka dua ayat tersebut telah mencukupkan-nya.” HR. Al-Bukhari dengan Fathul Bari 9/94 dan  Muslim 1/554.
[4]Apabila seseorang di antara kalian bangkit dari tempat tidurnya kemudian ingin kembali lagi, hendaknya ia mengibaskan ujung kainnya tiga kali, dan menyebut nama Allah, karena ia tidak tahu apa yang ditinggalkannya di atas tempat tidur setelah ia bangkit. Apabila ia ingin berbaring, maka hendaknya ia membaca: ... (dzikir di atas).” HR. Al-Bukhari (11/126, no. 6320) dan Muslim (4/2084, no. 2714).
[5] HR. Muslim (4/2083, no. 2712), Ahmad dengan lafazh yang sama (2/79).
[6]Apabila Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam ingin tidur, beliau meletakkan tangannya yang kanan di bawah pipinya, kemudian membaca: … (dzikir di atas).” HR. Abu Dawud dengan lafazh hadits yang sama (4/311, no. 5045). Lihat Shahih At-Tirmidzi (3/143).
[7] HR. Bukhari bersama Fathul Baari (11/113, no. 6312) dan Muslim (4/2083, no. 2711) dari hadits Al Barro’ radhiyallahu ‘anhu.
[8] HR. Bukhari bersama Fathul Baari (7/71, no. 3705) dan Muslim (4/2091, no. 2727)
[9] HR. Muslim (4/2084, no. 2713).
[10] HR. Muslim (4/2085, no. 2715).
[11] HR. Abu Daud (4/317, no. 5083). Lihat Shahih At-Tirmidzi (3/142).
[12] HR. Tirmidzi no. 3404 dan An-Nasai dalam ‘Amal Al Yaum wal Lailah no. 707. Lihat Shahihul Jami’ (4/255, no. 4873)
[13] Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang membaca do’a itu, “Jika kamu mati, maka kamu mati di atas fithrah.” HR. Al-Bukhari bersama Fathul Baari (11/113; no. 6313, 6315, 7488) dan Muslim (4/2081, no. 2710).
»»  read more

Doa antara adzan dan Iqomah, Doa yang Mustajab

 
doa_mustajab_terkabulkanMungkin sebagian kita belum mengetahui bahwa waktu antara adzan dan iqomah adalah waktu utama terkabulnya do’a. Sehingga karena ketidaktahuan setelah adzan malah disibukkan dengan hal lain yang tidak berfaedah. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa waktu tersebut adalah di antara waktu terkabulnya do’a (waktu ijabah). Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap orang memperhatikan waktu tersebut dan memanfaatkannya untuk banyak bermunajat dan memohon pada Allah yang Maha Mendengar setiap do’a.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدُّعَاءَ لاَ يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ فَادْعُوا
Sesungguhnya do’a yang tidak tertolak adalah do’a antara adzan dan iqomah, maka berdo’alah (kala itu).” (HR. Ahmad 3/155. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Waktu antara adzan dan iqomah adalah waktu yang barokah (penuh kebaikan) yang sudah sepantasnya seorang muslim menyibukkan diri untuk banyak berdo’a saat itu.
Kita lihat contoh dari ulama besar Saudi Arabia (pernah menjabat sebagai ketua Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia), Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah yang benar-benar menjaga amalan yang satu ini. Diceritakan oleh murid beliau, Sa’ad Ad Daud bahwasanya Syaikh rahimahullah setelah melakukan shalat sunnah dua raka’at (antara adzan dan iqomah), Syaikh Sa’ad ingin mengajukan suatu pertanyaan pada beliau rahimahullah. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah lantas menjawab, “Wahai Sa’ad, ingatlah bahwa do’a antara adzan dan iqomah adalah do’a yang tidak tertolak.” Lihatlah beliau rahimahullah lebih ingin memanfaatkan waktu tersebut daripada melakukan hal lainnya karena menjawab pertanyaan dari Sa’ad bisa saja ditunda selesai shalat. Lihat pula bagaimana semangat beliau rahimahullah dalam mengamalkan hadits di atas.
Syaikhuna, Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah mengatakan, “Kebanyakan manusia malah meninggalkan do’a antara adzan dan iqomah. Mereka menyibukkan diri dengan tilawah Al Qur’an. Tidak ragu lagi bahwa membaca Al Qur’an adalah amalan yang mulia. Akan tetapi tilawah Al Qur’an bisa dilakukan di waktu lain. Menyibukkan diri dengan berdo’a dan berdzikir, itu lebih afdhol (lebih utama). Karena do’a yang dituntunkan pada waktu tertentu tentu lebih utama dari do’a yang dipanjatkan di tempat lain.”
Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni hafizhohullah mengatakan, “Namun dituntunkan jika bisa menggabungkan antara berdo’a dan membaca Al Qur’an kala itu. Alhamdulillah jika keduanya bisa dilakukan sekaligus.”
Setelah kita mengetahui hal ini, manfaatkanlah waktu tersebut untuk memanjatkan do’a. Moga Allah memperkenankan setiap do’a-do’a kita.
»»  read more

Saat hujan Turun kesempatan Emas Untuk Berdoa

 
doa_hujanSebagian orang tatkala memperhatikan hujan, ada yang sampai gelisah. Apalagi jika turunnya hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, mungkin ada meeting, janji atau yang lainnya. Sehingga yang terjadi adalah mengeluh dan mengeluh. Padahal jika kita merenung dan memahami hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, waktu hujan turun adalah saat mustajabnya do’a, artinya do’a semakin mudah terkabulkan. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[1]mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.[2]
Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ
Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.[3]
Do’a yang amat baik dibaca kala itu adalah memohon diturunkannya hujan yang bermanfaat. Do’a yang dipanjatkan adalah,
اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً
Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].
Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[4]
Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi mengatakan, ”Air hujan yang mengalir adalah suatu karunia.”[5]
Semoga dengan turunnya hujan semakin membuat kita bersyukur, bukan malah mengeluh. Manfaatkanlah moment tersebut untuk banyak memohon segala hajat pada Allah Ta’ala menyangkut urusan dunia dan akhirat. Jangan sia-siakan kesempatan untuk mendoakan kebaikan diri, istri, anak, kerabat serta kaum muslimin lainnya.
»»  read more

Saat hujan Turun kesempatan Emas Untuk Berdoa

 
doa_hujanSebagian orang tatkala memperhatikan hujan, ada yang sampai gelisah. Apalagi jika turunnya hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, mungkin ada meeting, janji atau yang lainnya. Sehingga yang terjadi adalah mengeluh dan mengeluh. Padahal jika kita merenung dan memahami hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, waktu hujan turun adalah saat mustajabnya do’a, artinya do’a semakin mudah terkabulkan. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[1]mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
اُطْلُبُوا اسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ ثَلَاثٍ : عِنْدَ الْتِقَاءِ الْجُيُوشِ ، وَإِقَامَةِ الصَّلَاةِ ، وَنُزُولِ الْغَيْثِ
Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : [1] Bertemunya dua pasukan, [2] Menjelang shalat dilaksanakan, dan [3] Saat hujan turun.[2]
Begitu juga terdapat hadits dari Sahl bin Sa’d, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ثِنْتَانِ مَا تُرَدَّانِ الدُّعَاءُ عِنْدَ النِّدَاءِوَ تَحْتَ المَطَرِ
Dua do’a yang tidak akan ditolak: [1] do’a ketika adzan dan [2] do’a ketika ketika turunnya hujan.[3]
Do’a yang amat baik dibaca kala itu adalah memohon diturunkannya hujan yang bermanfaat. Do’a yang dipanjatkan adalah,
اللَّهُمَّ صَيِّباً ناَفِعاً
Allahumma shoyyiban naafi’aa [Ya Allah, turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat].
Itulah yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ucapkan ketika melihat turunnya hujan. Hal ini berdasarkan hadits dari Ummul Mukminin, ’Aisyah radhiyallahu ’anha,
إِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّباً نَافِعاً
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[4]
Ibnu Baththol mengatakan, ”Hadits ini berisi anjuran untuk berdo’a ketika turun hujan agar kebaikan dan keberkahan semakin bertambah, begitu pula semakin banyak kemanfaatan.”
Al Khottobi mengatakan, ”Air hujan yang mengalir adalah suatu karunia.”[5]
Semoga dengan turunnya hujan semakin membuat kita bersyukur, bukan malah mengeluh. Manfaatkanlah moment tersebut untuk banyak memohon segala hajat pada Allah Ta’ala menyangkut urusan dunia dan akhirat. Jangan sia-siakan kesempatan untuk mendoakan kebaikan diri, istri, anak, kerabat serta kaum muslimin lainnya.
»»  read more

Mengenal Jenis Zikir

 
jenis_dzikirAda pelajaran yang amat menarik dari Ibnul Qayyim rahimahullah. Dalam kitab beliau Al Wabilush Shoyyib, juga kitab beliau lainnya yaitu Madarijus Salikin dan Jala-ul Afham dibahas mengenai berbagai jenis dzikir. Dari situ kita dapat melihat bahwa dzikir tidak terbatas pada bacaan dzikir seperti tasbih (subhanallah), tahmid (alhamdulillah) dan takbir (Allahu akbar) saja. Ternyata dzikir itu lebih luas dari itu. Mengingat-ingat nikmat Allah juga termasuk dzikir. Begitu pula mengingat perintah Allah sehingga seseorang segera menjalankan perintah tersebut, itu juga termasuk dzikir. Selengkapnya silakan simak ulasan berikut yang kami sarikan dari penjelasan beliau rahimahullah. Dzikir itu ada tiga jenis:
Jenis Pertama:
Dzikir dengan mengingat nama dan sifat Allah serta memuji, mensucikan Allah dari sesuatu yang tidak layak bagi-Nya.
Dzikir jenis ini ada dua macam:
Macam pertama: Sekedar menyanjung Allah seperti mengucapkan “subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaha illallah wallahu akbar”, “subhanallah wa bihamdih”, “laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qodiir”.
Dzikir dari macam pertama ini yang utama adalah apabila dzikir tersebut lebih mencakup banyak sanjungan dan lebih umum seperti ucapan “subhanallah ‘adada kholqih” (Maha suci Allah sebanyak jumlah makhluk-Nya). Ucapan dzikir ini lebih afdhol dari ucapan “subhanallah” saja.
Macam kedua: Menyebut konsekuensi dari nama dan sifat Allah atau sekedar menceritakan tentang Allah. Contohnya adalah seperti mengatakan, “Allah Maha Mendengar segala yang diucapkan hamba-Nya”, “Allah Maha Melihat segala gerakan hamba-Nya, “tidak mungkin perbuatan hamba yang samar dari  penglihatan Allah”, “Allah Maha menyayangi hamba-Nya”, “Allah kuasa atas segala sesuatu”, “Allah sangat bahagia dengan taubat hamba-Nya.”
Dan sebaik-baik dzikir jenis ini adalah dengan memuji Allah sesuai dengan yang Allah puji pada diri-Nya dan memuji Allah sesuai dengan yang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji-Nya, yang di mana ini dilakukan tanpa menyelewengkan, tanpa menolak makna, tanpa menyerupakan atau tanpa memisalkan-Nya dengan makhluk.
Jenis Kedua:
Dzikir dengan mengingat perintah, larangan dan hukum Allah.
Dzikir jenis ini ada dua macam:
Macam pertama: Mengingat perintah dan larangan Allah, apa yang Allah cintai dan apa yang Allah murkai.
Macam kedua: Mengingat perintah Allah lantas segera menjalankannya dan mengingat larangan-Nya lantas segera menjauh darinya.
Jika kedua macam dzikir (pada jenis kedua ini) tergabung, maka itulah sebaik-baik dan semulia-mulianya dzikir. Dzikir seperti ini tentu lebih mendatangkan banyak faedah. Dzikir macam kedua (pada jenis kedua ini), itulah yang disebut fiqih akbar. Sedangkan dzikir macam pertama masih termasuk dzikir yang utama jika benar niatnya.
Jenis ketiga:
Dzikir dengan mengingat berbagai nikmat dan kebaikan yang Allah beri.

Dzikir dengan Hati dan Lisan
Dzikir bisa jadi dengan hati dan lisan. Dzikir semacam inilah yang merupakan seutama-utamanya dzikir.
Dzikir kadang pula dengan hati saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang kedua.
Dzikir kadang pula dengan lisan saja. Ini termasuk tingkatan dzikir yang ketiga.
Sebaik-baik dzikir adalah dengan hati dan lisan. Jika dzikir dengan hati saja, maka itu lebih baik dari dzikir yang hanya sekedar di lisan. Karena dzikir hati membuahkan ma’rifah, mahabbah (cinta), menimbulkan rasa malu, takut, dan semakin mendekatkan diri pada Allah. Sedangkan dzikir yang hanya sekedar di lisan tidak membuahkan hal-hal tadi.
Pelajaran
Jika kita perhatikan dengan seksama apa yang disampaikan oleh Ibnul Qayyim di atas, dapat kita simpulkan bahwa duduk di majelis ilmu yang membahas bagaimana mengenal Allah melalui nama dan sifat-Nya, bagaimana mengetahui secara detail hukum-hukum Allah berupa perintah dan larangan-Nya, itu semua termasuk dzikir. Bahkan jika sampai ilmu itu membuahkan seseorang bersegera taat pada Allah dan menjauhi larangan-Nya, itu bisa menjadi dzikir yang utama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim sebagai fiqih akbar. Namun jika sekedar mengilmuinya saja, itu pun sudah termasuk dzikir. Itu berarti bukan suatu hal yang sia-sia jika seseorang berlama-lama duduk di majelis ilmu untuk mendengarkan nasehat para ulama yang di mana di dalamnya dibahas hal yang lebih detail tentang Allah, dibahas pula berbagai perintah dan larangan-Nya. Ini sungguh merupakan dzikir yang amat utama.
Semoga Allah menganugerahkan pada kita semangat dan keistiqomahan untuk terus belajar dan tidak lalai dari dzikir pada-Nya.
»»  read more

Kuliah Sambil "Ngaji"

 
sand-clockSegala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Kegiatan kuliah terasa amat menyibukkan. Sibuk dengan berbagai tugas, harus buat presentasi, menyusun laporan praktikum dan lebih sibuk lagi jika sudah menginjak semester-semester akhir. Apakah mungkin kesibukan ini bisa dibarengi dengan menuntut ilmu agama? Jawabannya, mungkin sekali. Segala kemudahan itu datang dari Allah. Maka bisa saja seorang engineer menjadi pakar fiqih. Bisa jadi pula seorang ekonom menjadi pakar hadits. Atau seorang ahli biologi menjadi hafizh Al Qur’an. Semua itu bisa terwujud karena anugerah dan kemudahan dari Allah.

Realitas, Lebih Banyak Menyia-nyiakan Waktu
Mahasiswa sebenarnya punya banyak waktu senggang. Cuma sebagian mahasiswa saja yang benar-benar menyia-nyiakan waktunya. Tidak setiap saat ia mesti mendapatkan tugas. Tidak setiap hari mesti kerjakan laporan praktikum. Mahasiswa yang tidak pintar membagi waktu saja yang selalu “sok sibuk”.
Sebagian mahasiswa masih bisa menyisihkan waktu untuk renang dengan shohib dekatnya. Ia masih sempat juga untuk fitness meskipun di kala laporan praktikum menumpuk. Ia juga masih sempat berpetualang menjelajah berbagai gunung meskipun minggu depan ada ujian mid. Ia masih bisa begadang semalam suntuk untuk menanti pertandingan Liga Champions meskipun katanya ada banyak tugas yang mesti diselesaikan. Sebagiannya pula bisa menyisihkan waktu untuk update status setiap jam di FB (Facebook), twitter dan semacamnya. Mau tidur, mau makan, mau renang, bahkan mau ke WC sekali pun bisa ada statusnya di jejaring sosial tadi. Namun soal ngaji (istilah untuk mendalami ilmu agama) bisa menjadi nomor sekian baginya. Padahal aneh kan, hal-hal tadi bisa ia lakukan. Sedangkan berkaitan dengan urusan akhiratnya di mana ia wajib mempelajari Islam karena ibadah-ibadah tertentu akan ia lewati setiap harinya. Setiap muslim tentu mesti mengetahui bagaimanakah ia harus berwudhu yang benar sehingga shalatnya pun bisa sah. Ia pun  harus tahu apa saja yang termasuk pembatal-pembatal shalat, sehingga shalatnya tidak jadi sia-sia. Ia pun harus tahu bagaimana mandi wajib.
Lihatlah mereka bisa menyisihkan waktu untuk hal-hal dunia yang kadang sia-sia. Namun untuk hal yang menyangkut akhirat mereka, di mana tentu ini lebih urgent, mereka tidak bisa membagi waktu dengan baik. Benarlah firman Allah Ta’ala,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7).
Syaikh Abu Bakr Jabir Al Jazairi hafizhohullah menjelaskan, “Mereka mengetahui kehidupan dunia secara lahiriah saja seperti mengetahui bagaimana cara mengais rizki dari pertanian, perindustrian dan perdagangan. Di saat itu, mereka benar-benar lalai dari akhirat. Mereka sungguh lalai terhadap hal yang wajib mereka tunaikan dan harus mereka hindari, di mana penunaian ini akan mengantarkan mereka selamat dari siksa neraka dan akan menetapi surga Ar Rahman.” (Aysarut Tafasir, 4/124-125)

Beberapa Sampel
Beberapa orang bisa membuktikan bahwa mereka di samping kuliah di pagi hari, sore harinya masih bisa “ngaji” (menuntut ilmu agama). Bahkan ada di antara mahasiswa yang bisa menjadi hafizh Al Quran dengan sempurna di masa kuliahnya. Ada pula yang bisa menguasai ilmu aqidah dengan baik padahal ia seorang dokter. Setelah kuliah pun ia bisa menyusun beberapa buku berkaitan dengan masalah aqidah dari hasil ia belajar di saat-saat kuliah dulu (paginya kuliah, sorenya ia duduk di majelis ilmu). Ada pula yang amat pakar dalam bahasa Arab dan menjadi seorang ustadz yang mumpuni dalam hal aqidah serta ilmu lainnya, padahal ia adalah sarjana biologi. Yang lainnya lagi adalah seorang dosen (lulus S3), namun tidak diragukan ia sangat mumpuni dalam ilmu hadits hasil dari belajar dulu  bersama beberapa ustadz di saat-saat ia kuliah. Bahkan di Arab Saudi sendiri ada seorang ulama yang dulunya adalah seorang yang belajar ilmu Teknik Kimia. Dan saat ini, beliau menjadi imam dan ulama yang jadi rujukan. Ia pun memiliki situs yang berisi berbagai fatwa yang sering dikunjungi dari berbagai negara. Ada lagi ulama yang dahulunya belajar ilmu teknik mesin. Saat lulus ia mendalami ilmu hadits dan menjadi hafizh al quran. Karya-karya beliau dalam tulisan pun amat banyak. Dua ulama yang kami sebutkan di sini adalah Syaikh Sholeh Al Munajjid dan Syaikh Musthofa Al Adawi hafizhohumallah.
Itu sekedar beberapa contoh riil yang kami ketahui. Kami yakin masih banyak contoh-contoh lainnya yang mungkin para pembaca sendiri mengetahuinya. Ini pertanda bahwa orang yang belajar ilmu umum (ilmu teknik, ekonomi, IT, dll) sebenarnya tidak terhalang untuk belajar agama bahkan bisa menjadi ulama atau pun ustadz karena kerajinannya di luar jam kuliah untuk mengkaji Islam. Itulah karunia Allah untuk mereka-mereka tadi.

Mulai Belajar Islam
Kalau sudah tahu demikian, Anda selaku mahasiswa seharusnya tidak usah ragu lagi untuk menaruh perhatian pada ilmu diin (ilmu agama). Cobalah mulai dengan mempelajari Islam mulai dari dasar. Terutama pelajarilah hal-hal yang wajib yang jika Anda tidak mengetahuinya maka bisa terjerumus dalam dosa atau bisa meninggalkan kewajiban. Inilah ilmu yang wajib dipelajari.
Selaku mahasiswa wajib punya ilmu aqidah dan tauhid yang benar sesuai dengan pemahaman generasi terbaik Islam (salafush sholeh). Cobalah mempelajari beberapa tulisan karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab seperti Qowa’idul Arba’ (empat kaedah memahami syirik), Tsalatsatul Ushul (tiga landasan dalam mengenal Allah, Islam dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), dan Kitab Tauhid (pelajaran tauhid dan syirik secara lebih detail). Kitab-kitab aqidah pun ada yang mudah dipelajari seperti Al ‘Aqidah Al Wasithiyah karya Ibnu Taimiyah dan Al ‘Aqidah Ath Thohawiyah karya Abu Ja’far Ath Thohawiy.
Anda pun wajib mempelajari fiqih secara bertahap terutama pelajaran bagaimana cara wudhu yang benar, bagaimana cara mandi wajib, dan bagaimana shalat yang benar serta berbagai hal yang berkaitan dengan hal-hal tadi. Amat mudah jika Anda menguasai dari fiqh madzhab sebagaimana anjuran para ulama. Karena di negeri ini menganut madzhab Syafi’i, Anda bisa belajar dari berbagai kitab fiqh Syafi’iyah. Pelajari dari matan-matan yang ringkas seperti kitab Al Ghoyah wat Taqrib karya Abu Syuja’ dan Minhajuth Tholibin karya Imam An Nawawi. Inilah kitab dasar yang bisa Anda kuasai. Setelah itu bisa melanjutkan dengan kitab fiqih yang lebih advance dengan mendalami dalil-dalil lebih jauh. Baru setelah itu bisa menelaah berbagai pendapat ulama dan perselisihan mereka dalam hal fiqih sehingga akhirnya kita tidak fanatik pada satu madzhab atau satu imam. Anda pun bisa menguasai fiqih melalui berbagai buku hadits seperti dari kitab ‘Umdatul Ahkam karya ‘Abdul Ghoni Al Maqdisi dan kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar Al Asqolani. Untuk memahami kitab-kitab fiqih ini, Anda bisa memiliki berbagai kitab syarh (penjelasan) dari masing-masing kitab.
Buku-buku yang kami sebutkan di atas sudah cukup mudah ditemukan saat ini di berbagai toko buku Islam bahkan sudah banyak yang diterjemahkan. Sehingga tidak ada alasan bagi yang belum menguasai bahasa Arab untuk terus belajar. Namun jika Anda sambil menguasai bahasa Arab terutama menguasai grammar-nya dalam ilmu Nahwu dan Sharaf itu lebih baik. Karena menguasai bahasa tersebut bisa membuat Anda meneliti lebih jauh kitab-kitab ulama secara lebih mandiri.
Selain mempelajari hal-hal di atas, tambahkan pula dengan mempelajari berbagai kitab akhlaq dan tazkiyatun nufus (manajemen hati). Juga janganlah sampai tinggalkan hafalan Al Qur’an. Karena orang yang menghafal Al Qur’an sungguh memiliki banyak keutamaan dan faedah di tengah-tengah umat. Lebih-lebih di akhirat hafalan Al Qur’an ini membuat dia lebih ditinggikan derajat di surga. Lalu para ulama pun menganjurkan untuk menghafal berbagai matan atau berbagai kitab ringkas seperti menghafalkan kitab kecil yang berisi 42 hadits yaitu Al Arba’in An Nawawiyah. Menghafal seperti ini memudahkan kita menguasai ilmu Islam dengan lebih mudah.

Sabar dalam Belajar
Kalau dilihat, terasa begitu banyak yang harus dipelajari. Sebenarnya tidak juga karena mempelajari berbagai buku di atas itu bertingkat-tingkat. Ada yang lebih dasar, baru setelah itu beranjak pada yang lebih lanjut. Jadi belajar yang baik adalah secara bertahap. Sehingga di sini butuh kesabaran dalam belajar dan belajar butuh waktu yang lama. Yang terbaik pula adalah belajar di majelis ilmu lewat guru. Lihatlah sya’ir Imam Asy Syafi’i,
أَخِي لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إلَّا بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيكَ عَنْ تَفْصِيلِهَا بِبَيَانِ

ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَبُلْغَةٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُولُ زَمَانٍ
Saudaraku … ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya : (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.

Pintar Bagi Waktu
Modal yang penting “nyambi” belajar Islam adalah pintar membagi waktu. Cobalah membagi waktu mulai dari Shubuh hari sudah bisa menghafal Al Qur’an. Butuh satu jam untuk menyisihkan waktu kala itu. Setelah itu sediakan waktu untuk persiapan kuliah di pagi hari. Pukul 7 atau 8 sudah bisa berangkat ke kampus. Di waktu-waktu shalat atau waktu senggang saat di kampus bisa digunakan untuk muroja’ah Al Qur’an atau mengerjakan tugas-tugas kampus sehingga tidak menumpuk keesokan harinya. Pulang kampus di siang atau sore hari bisa istirahat sejenak untuk menghilangkan rasa capek. Di sore hari sehabis ‘Ashar bisa digunakan untuk mengikuti berbagai majelis ilmu sampai dengan waktu ‘Isya. Di waktu malam bisa digunakan untuk mengerjakan tugas kuliah. Sebelum tidur bisa digunakan menghafal berbagai matan, mengulang hafalan Al Qur’an atau mengulang pelajaran yang ikuti di kajian.
Jadi cuma kepintaran saja membagi waktu, niscaya kita bisa kuliah sambil “ngaji”. Dan jangan lupakan minta pertolongan Allah agar dimudahkan mempelajari agama di samping kuliah. Doa ini amat menolong. Jika kita memohon kemudahan pada Allah, pasti segala urusan tadi akan begitu mudah. Berbeda halnya jika kita bergantung pada diri sendiri yang begitu lemah.
Semoga Allah mudahkan kita selaku mahasiswa untuk dapat meraih keduanya, bahkan bisa menjadi pakar pula dalam ilmu agama dan bisa turut membantu dakwah agar tersebar seantero negeri kita ini.
»»  read more

Puasa Ramadhan

Puasa Ramadhan dan Hikmahnya Menurut Al-Quran.
MARHABAN YA RAMADHAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “marhaban” diartikan sebagai “kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang).” Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan “selamat datang.”
Puasa Ramadhan dan Hikmahnya Menurut Al-Quran
Puasa Ramadhan dan Hikmahnya Menurut Al-Quran

Walaupun keduanya berarti “selamat datang” tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan “marhaban ya Ramadhan”.
Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti “keluarga”, sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti “dataran rendah” karena mudah dilalui, tidak seperti “jalan mendaki”. Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, “(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah.”
Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti “luas” atau “lapang”, sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan “marhaban”, terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti “ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan.” Marhaban ya Ramadhan berarti “Selamat datang Ramadhan” mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya “mengganggu ketenangan” atau suasana nyaman kita.
Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT
Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin.
Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.
PUASA MENURUT AL-QURAN
Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untuk kamu”, dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa (shiyamu)sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah [2] : ayat 183)
Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan” dan “berhenti” atau “tidak bergerak”. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas –apa pun aktivitas itu– dinamai shaim (berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari”.
Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.
Betapa pun, shiyam atau shaum –bagi manusia– pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.
Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran” dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.
Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas. (QS. Az-Zumar (39): 10)
Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa.
Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas.
1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.
2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya.
3. Puasa sunnah.
Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar pada puasa bulan Ramadhan.
PUASA RAMADHAN
Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi saw tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat Al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya’ban tahun kedua Hijrah.
Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma’dudat (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya ayat 185.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kamu agar kamu bertakwa, (QS. Al-Baqarah (2): 183)
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Baqarah (2): 184)
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(QS. Al-Baqarah (2): 185)
Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, Quraish Shihab lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu.
Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.
Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 183. ia dimulai dengan panggilan mesra, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa.” Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, “sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu.” Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni “agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa).”
Kemudian Al-Quran dalam surat Al-Baqarah (2): 184, 185 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya “beberapa hari tertentu,” itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga “barangsiapa sakit atau dalam perjalanan,” maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. “Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin.” Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa “berpuasa adalah baik.”
Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan “Allah menghendaki kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan,” lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bulan Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa “Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa.”
Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.
Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.
BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA
a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu yang menderita sakit)
Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:
1. Penderita tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan
2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia dianjurkan tidak berpuasa.
Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah SWT sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.
b. Aw’ala safarin (atau dalam perjalanan)
Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).
Perbedaan lain berkaitan dengan ‘illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.
Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya. Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya.
Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi’i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi’i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, “Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa.”
Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, “Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan.”
Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi’ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu:
c. Fa ‘iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).
Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, “Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Kalimat “lalu ia tidak berpuasa” adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa.
Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi’ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas.
Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis –tetapi dinilai lemah– yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatabi’at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha’) itu harus dilakukan bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi’at dalam fa ‘iddatun min ayyamin ukhar mutatabi’at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah SWT Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.
Meng-qadha’ (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu? Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas.
d. Wa ‘alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha’amu miskin
(Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).
Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah SWT memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan: musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah.
Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:
Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.
Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha’ (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.
e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa’ikum
(Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan istrimu) (QS Al-Baqarah [2]: 187)
Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks adalah “mengeluarkan sperma” dengan cara apa pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi saw pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian ternyata “basah”, maka puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari lain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.
Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum shalat subuh, sehingga shalat subuhnya dalam keadaan suci. Demikian pendapat mayoritas ulama.
f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr
(Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.
Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat dipertanggungjawabkan selama waktu subuh belum masuk. Jadi batas sesungguhnya bukan imsak, melainkan waktu subuh (azan subuh).
g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam).
Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnya fajar.
Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi saw, sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan “malam”. Kata lail berarti “sesuatu yang gelap” karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.
Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi saw untuk mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur. Pendapat kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir magrib sebenarnya belum masuk.
Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.
TUJUAN BERPUASA
Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi saw misalnya, “Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.”
Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa “Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan.”
Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, “Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya.”
Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah SWT Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas.
Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya. Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata.
Di sini Anda boleh bertanya, “Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa?” Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.
PUASA DAN TAKWA
Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, “Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah”. Makna ini mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan “Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada.” Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk “Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari siksa Allah”.
Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.
a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, “Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit,” “Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana”, dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.
b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, tidak puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
Syaikh Muhammad Abduh menulis, “Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan/atau takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah SWT.”
Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah SWT setiap saat, “bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya,” sebagaimana bunyi sebuah hadis.
Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara lain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah SWT
PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH
Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Nabi saw memerintahkan, “Takhallaqu bi akhlaq Allah” (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).
Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan…? (QS Al-An’am [6]: 14).
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks di pagi-siang-sore hari, walaupun pasangannya ada.
Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai.
Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut (bukan pada sisi lapar dan dahaga), sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi saw menyatakan bahwa, “Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.”
PUASA UMAT TERDAHULU
Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian, shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.
Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu?
Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks. Kebebasan yang dimiliki manusia, bila tidak dikendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi relatif mudah terserang penyakit.
Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.
Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh Al-Quran.
Nabi saw bersabda, “Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan.”
KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN
Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam Qadar,
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr.
Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Allah SWT, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.
Di sisi lain bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang mengandung pesan tentang kedekatan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa siapa pun yang dengan tulus berdoa. al-quran
»»  read more

 
Cheap Web Hosting | Top Web Hosts | Great HTML Templates from easytemplates.com.